Wednesday 29 April 2009

Agar Jahil Tak Jadi Kebiasaan

Situasi 1
“Lho, mana remote TV nya? Tadi perasaan da di sofa, kok sekarang raib.”
“Hik, hik, hik!”suara nyengir dari balik pintu kamar. Seorang anak usia 6 tahunan.
“Pasti kamu nih Dik yang nyembunyiin remote-nya? Ayo ngaku! Kalau tidak Mbak laporin Mama lho!”
“Emak enak gak ada remote-nya?”anak itu menggoda sambil mencibirkan bibirnya.

Situasi 2
“Ihhhh, tangannya jangan usil dong! Gimana ayah mau ngetik kalau jari-jarinya Adik mainin keyboard gini!”
“Yah, Yah, itu lho anak tetangga sebelah dibeliin mainan mobil-mobilan baru. Beliin dong Yah.”
“Iya, tapi ayah harus ngetik laporan dulu, beliinnya ntar ya.”
Jari-jari tangan Si anak terus saja menjarahi tombol-tombol yang ada pada keyboard.

Ehm, pernah menjumpai situasi seperti itu? Bahkan mengalaminya? Anak yang jahil terkadang memang menjadi biang masalah. Kegaduhan dan kesewrawutan terkadang berawal dari kejahilan anak-anak kita. Lantas, salahkah mereka? Mari kita tilik kembali.
Jahil merupakan perbuatan yang memang membuat orang di sekitar pelakunya merasa gregetan. Ingin berkata kasar, ingin meng”eh” saking gemesnya, bahkan seakan-akan ingin melenyapkan sang pelaku. Pelaku sengaja berbuat jahil karena dia ingin diperhatikan. Sikap acuh tak acuh dari orang sekitarnya bisa menjadi penyebab salah satunya. Menolak keinginannya untuk bermain, melarangnya untuk ikut nimbrung nonton televisi, dsb. Ketika menjadi salah satu bagian dari sebuah komunitas tidak berhasil didapatkannya, maka anak ada kecenderungan untuk berbuat jahil setelahnya. Pelampiasan, seolah-olah dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak kalah dan terasingkan.
Wajar memang, karena lingkungan mengajarkannya demikian. Secara tak sadar banyak juga orang tua yang mendiskriminasikan anak-anaknya yang ujung-ujungnya juga bisa menjadi pisau yang mengasah perbuatan jahil anaknya. Kedekatan orang tua pada seorang anaknya yang paling pintar atau yang lainnya bisa-bisa juga menimbulkan iri anak yang lain sehingga jahil pun tidak bisa dihindarkan.
Bentuknya macam-macam. Dari melakukan ancaman, ucapan yang menyakitkan, sampai menjadikan orang yang akan dijahili merasa kalah, bahkan kehilangan sesuatu.
Lalu, apa solusi untuk mengatasi anak yang suka jahil?
1. Buat anak merasa menjadi bagian dari sesuatu kegiatan/komunitas
Ketika satu keluarga sedang rekreasi misalnya. Sebisa mungkin libatkan anak untuk ikut serta. Jangan dibiarkan 1 atau 2 anak diajak, sedangkan ada anak yang lain diminta untuk merenung sendiri di rumah. Menjadi satpam untuk beberapa jam. Ini memang sulit bagi yang keluarga besar sedang fasilitas tidak mendukung untuk mengajak semuanya. Yah paling tidak, ajak dia bicara bagaimana sebuah masalah sederhana bisa diselesaikan. Berkomunikasi dengan hati. Dengan melibatkan anak dalam setiap kegiatan bersama akan menimbulkan perasaan bahwa keberadaan anak diakui. Dan itu yang anak cari.
2. Ajak anak untuk merefleksi bahwa perbuatan jahil yang dilakukannya adalah salah
Tentu saja ini dilakukan ketika anak dalam keadaan tenang. Anak diajak berpikir untuk merasakan sebagai orang yang dijahili. Bisa dengan cerita kehidupan, bisa dengan contoh langsung yang pernah terjadi di kehidupan (misalkan dari fakta di koran atau di televisi).
3. Buat sebuah forum kebersamaan dalam keluarga yang mampu mengakomodir setiap keinginan anak untuk disampaikan
Terkadang anak yang pendiam malu untuk mengungkapkan keinginannya. Bahasa tubuh yang ditunjukkan belum tentu memberikan sinyal yang bisa dipahami orang tua atau anggota keluarga yang lain. Maka, forum kebersamaan perlu dibangun. Entah saat makan malam, selesai olahraga bersama, atau yang lainnya. Orang tua secara bergilir menanyakan keinginan masing-masing anak untuk bisa diomongkan sama-sama.
Nah, yang terpenting dari semuanya adalah jika anak sudah berbuat jahil, maka orang tuanya hendaknya tidak cepat menanggapinya dengan nada yang tinggi. Hadapi dengan kasih sayang, niscaya segalanya akan lebih terang.

No comments: